Translate this blog to:

0 comments

Mawar Berduri

Minggu ini Alif sedikit bersemangat. Sudah beberapa minggu, ia tak bersemangat lagi. Bukan karena hilang statusnya sebagai siswa menengah atas, tapi karena hidupnya yang mulai berantakan.

Beberapa hari yang lalu, ia mengenal seorang perempuan yang sebelumnya tak pernah ada niatan untuk memilihnya; Nadia. Tapi entah kenapa, setiap mengingat Nadia, selalu saja membuatnya senyum-senyum sendiri. Parasnya cantik, luar dalam. "Cocok untuk dijadikan istri, " gumam Alif.

Nadia masih satu desa dengan Alif. Namun, karena sekolah mereka berbeda, Alif baru mengenalnya.


***


Tepatnya beberapa hari setelah kelulusan, Alif ingin meregangkan otot-ototnya yang kaku dengan joging sambil menikmati hijaunya alam desa tempat tinggalnya. Maklum, hari-hari sebelumnya ia belajar habis-habisan menghadapi ujian. Dan usaha kerasnya pun berbuah manis.

Tak terasa, Alif sudah semakin jauh dari rumahnya. Semakin banyak langkah yang ia tempuh, semakin banyak keringat bercucuran. Alif pun memutuskan untuk istirahat sejenak di pinggir jalan.

“Alif, ya?” tiba-tiba suara lembut nan merdu datang dari belakang.

“Selamat, ya. Kamu lulusan terbaik di sekolahmu,” lanjut Nadia.

“I.. Iya.. Terima kasih,” Jawab Alif yang kaget.

“Hebat deh. Apa sih resepnya biar pinter?” kata gadis ramah berparas cantik ini basa-basi.

“Ah, biasa saja. Hanya beruntung..” sambung Alif sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya. Mukanya memerah.

Perbincangan berlanjut. Obrolan mereka selalu mengangkat topik sederhana, namun bermakna, ngalor-ngidul, tapi tetap akur.

Serasa menemukan semangat baru, ia mulai suka dengan Nadia. Alif selalu cocok dengan Nadia. Bahkan, orang-orang yang melihatnya mengira bahwa mereka adalah pasangan. Alif pun berharap demikian, menjadi pasangan Nadia. Tapi ia belum berani mengungkapkan perasaannya.

Hanya bermodalkan PD, Alif sedikit berani untuk memilihnya. Ya, walau dirinya baru bermodalkan ijazah SMA dan belum bekerja, paling tidak, ia memiliki tekad yang kuat. Tekad untuk merubah dirinya menjadi lebih baik, menyetarakan parasnya dengan Nadia. Pintu hatinya seakan tertutup untuk perempuan lain

***

Seminggu Alif tidak bertemu dengan Nadia. Pagi itu Alif ingin bertemu Nadia. Tentu saja seperti biasa, ia joging menuju rumah Nadia. Betapa Alif berbunga-bunga pagi itu. Ia akan bertemu setelah seminggu tak melihat senyum manis Nadia.

Alif sampai di depan rumah Nadia. Kebetulan, Nadia sedang di depan rumah menyirami bunga-bunganya yang cantik, secantik pemiliknya.

“Pagi, Nadia. Rajin banget..” sapa Alif.

“Hehe.. Iya, Lif. Kan biar seger dan cantik,” sambung Nadia.

“Eh, tapi kok ada yang beda ya? Kamu terlihat lebih banyak senyum. Ada apa ni?” tanya Alif penasaran.

“Eh, iya. Datang yah. Sudah terima undangannya kan?” kata Nadia. “Tadi pagi aku suruh Danar mengantarkan undangannya.”

“Undangan? Undangan apa? Aku belum bertemu Danar hari ini.” Jawab Alif sedikit kaget dan bingung.

“Minggu depan, aku mau menikah. Mohon doa restunya ya Lif,” terang Nadia.

Betapa kagetnya Alif. Gadis cantik yang selalu ada di pikirannya, yang selalu mengisi hatinya, selalu mendatangkan semangat untuknya, tiba-tiba akan pergi. Menikah dengan orang lain. Alif pun memberi selamat dan senyum palsu pada Nadia. Rasa bingung dan bimbang pun berkecamuk di benaknya. Mau membuka hati, sudah kadhung suka. Mau lari, tapi kemana?

Alif pamit pulang. Di bawah pintu rumahnya terselip kertas lipat berbentuk persegi panjang yang terbungkus plastik. Di bagian atasnya tertulis ‘Undangan’. Ia melirik ke bawah, ‘Randi & Nadia’. Pagi itu benar-benar membuatnya remuk.

Ternyata, selama ini Alif salah mengira. Ia lupa kalau Nadia adalah gadis yang ramah. Tak hanya pada dirinya, ia ramah kepada semua orang.

“Mungkin ia lebih menarik dibanding yang lain karena ia sudah berpasangan. Hemh.. Begitulah kata orang,” kata Alif menghibur hati.

Malam harinya, Alif menulis sepucuk surat. Di bagian alamat, tertulis ‘Nadia’. Ya, surat untuk Nadia.

Untuk: Nadia
 Bukan lagi tunas yang tumbuh sendiri
Hidup hanya dari tubuh dan pikir
Namun karena matahari yang tersenyum
Membuat hati meranum
 Tak sangka mawarmu cantik
Mawar berduri
Secantik dirimu
 Kubalikkan badan, menatap ke depan
Kutinggalkan mawarmu tanpa jejakku



Paginya Alif sudah pergi, pergi untuk merantau. Ia tak ingin sakit lebih dalam lagi. Alif meninggalkan ‘getir’ itu. 
read more
0 comments

Hari Ini Beda


Suara ayam mulai menyelinap ke telingaku, saat aku masih berselimut di tempat tidur, merasakan nyenyaknya tidur berkat dinginnya udara malam hari.

Tak terasa ternyata suara adzan sudah terkumandang. Sayangnya telingaku tak menangkapnya. Ah, ya sudah yang penting masih bisa shalat subuh.

Shalat subuh kulakukan seperti biasa, dengan masih menikmati udara yang dingin tapi sejuk dirasa. Inilah indahnya pagi yang setiap hari aku inginkan. Pagi mulai pergi, dan siang menjemput. Tugas rumah sudah mulai aku selesaikan, tinggal memandikan motor yang belakangan ini sudah setia menemaniku.

Aku bersiap berangkat, handphone-ku bergetar sekali, menandakan ada sms yang masuk. “I’m ready to go. What about you?” sepenggal sms yang membuatku sedikit tersenyum. “Jangan lupa titipanku dibawa,” satu lagi sms masuk. Aku pun berangkat dengan santai.

Gadis yang pertama mengirim pesan singkat itu Fitri. Ia mengenakan kemeja bermotif garis memanjang kebawah, juga dengan rok hitam. Sepan orang menamainya.

Seperti biasa, aku menghampiri mereka hanya dengan senyuman yang sudah mereka hafal ciriku sebagai pendiam.

Sambil menunggu teman-teman yang lain, aku dengan Yuli (salah satu anggota Kelas Menulis Purbalingga) bertukar file dengan bantuan Netbook yang ditenteng Fitri (lengkapnya Fitri Arum Sari yang belum lama aku mengetahuinya). Yuli menagih file yang ia pesan padaku, dan aku melihat isi Flasdisk-nya.

Wah, desain kakaknya ternyata, aku salin ke Flashdisk-ku untuk referensiku dalam berlatih desain. Sebenarnya tukar file itu hanya selingan sedangkan yang paling utama adalah kami berdiskusi tentang pentas sabtu malam kemarin.

Cukup lima belas menit kami menunggu, dan pak mentor datang (wah, lebay). Ohya, selain melanjutkan diskusi tentang kegiatan sabtu malam kemarin, juga membahas Maksa (Majalah Kelas Menulis Purbalingga) yang beberapa bulan terakhir “gagal” terbit.

Selesai diskusi, aku pulang dan bergegas melihat apa isi dari file yang aku salin tadi.  Ternyata kakak Yuli memang kreatif,  desain-desain yang ia buat menginspirasiku untuk melanjutkan berlatih desain yang dulu pernah tumbang.

Aku pun bergegas shalat dzuhur, mengajak teman ke rumah Yuli menemui kakaknya untuk belajar. Banyak yang aku peroleh dari sana, senang
rasanya bisa bertemu dengan orang sepertinya (lagi).
read more
0 comments

Aku yang Salah

Hari ini aku merasa bersalah
Karena salah, bukan mengalah
Bukan menghadapi, tapi menghindar dari masalah
Sejujurnya, aku tak ingin menghindar juga bersalah

Hati ini tak pernah bisa bohong
Pada diri sendiri dan Illahi
Tuhan, maafkan aku atas kesalahanku
Itu semua bukan maksudku, bukan pula inginku
Untuk hari ini, aku tak ingin diganggu
Hari kemarin membekaskan luka di benakku
Trauma rasanya kalau aku menjalaninya
Tuhan, aku harus bagaimana?

Untuk saat ini aku hanya bisa mengaku
Aku yang salah
read more
0 comments

Hariku Seperti Embun Pagi

Saat pagi datang, embun pun mengikuti pagi
Terbentuk dari bekuan udara malam tadi
Ketika semua istirahat, membuang penat hari tadi
Siang yang membunuh, sore yang melemahkan

Tapi bukan berarti sahabatku adalah pagi dan malam
Siang, sore, mereka pun sahabatku
Merea selalu ada dalam hariku
Semoga mereka bisa aku temui untuk waktu yang lama
Hingga aku menemukan indahnya hidup

Tapi semangatku hanya terletak ketika embun datang
Saat pagi menuntun embun menampakkan dirinya
Ya, inilah aku
Hariku seperti embun pagi

read more
0 comments

Salah Apa?

Sesuatu yang mungkin sering aku alami
Entah harus aku tangisi, atau syukuri
Aku jadi begini
Atau begini jadinya aku?

Kadang aku ingin menyalahkan mereka, yang membuatku seperti ini
Memang, ada baiknya tapi lebih baik kita melakukan apa kesukaan kita?
Itu kata orang-orang
Tapi, sekarang aku harus mengubahnya
Menjadi sukai apa yang aku lakukan

Sedikit menyesal, marah, terharu, semua emosi berbaur
Perpaduan hal yang aku alami dengan emosi, membekaskan ingatan
Dari kecil, aku ini ingin jadi apa?
Kenapa sekarang seperti ini?

Salah apa?
read more
0 comments

Waktu! Bukan Aku yang Mengubah

Saat aku terjaga entah karena apa
Membuka mata, hati, akal; semuanya
Berbentur dengan suasana; pagi
Melahap sajian hari; pagi

Saat aku beranjak dari guring gratis milik orang tua
yang harus dibayar dengan kebaktianku
Tapi, aku belum membayarnya
Kenapa aku tak bisa membayarnya?
Kenapa aku belum bisa berubah?
dan kenapa aku belum bisa membahagiakan mereka?
Waktukah yang akan merubah semuanya?
Kalau seperti itu, aku ingin mengenal waktu
Membahas masalah bersama; berunding
Tentang masalahku

Saat aku mulai berdialog dengan waktu
Perubahan mulai terjadi
Hal yang dalam benakku terjadi, tak terjadi demikian
Tertulis hitam dalam benakku, tapi sebaliknya; putih
Ah, bagus!
Perubahan yang positif
Semangat!

Purbalingga
07/05
read more
0 comments

Di saat bernafas

Rayuan kecil yang tak pernah lepas
Menjara, menerobos masuk ke dalam hati
Kadang menghidupkan semangat
Juga membunuhnya
Apa maumu?

Tuhan mengirimkan sajak hidup
Menghembuskan rasa, juga asa

Orang-orang disekitarku menulis
Mopit yang mereka gunakan padaku
Dari berbagai sudut

Aku ingin seperti mereka
Tapi, mereka ingin seperti aku
Siapa yang salah?
Siapa yang mau dipersalahkan?
Ah, aku sadar
Akulah yang salah, bukan orang lain
Salahkan diriku
dan, segera salah itu dengan kebenaran

Purbalingga
06/05
read more

Sedikit coretan dari seorang yang "kecil"